Didi Kempot
Didi Prasetyo, atau lebih dikenal dengan Didi Kempot, adalah tokoh campursari pasca-Manthous. Didi Kempot yang lahir di Solo, 31 Desember 1966, itu hanya jebolan kelas II SMA. Awalnya anak dari Ranto Eddy Gudel, pelawak terkenal dari Solo itu adalah seorang pengamen. Dari dunia "jalanan" itulah, lahir lagu-lagunya yang kemudian menjadi hit, seperti Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Tulung, Cucak Rowo, Wen-Cen-Yu, Yang Penting Hepi, dan Moblong Moblong. Khusus untuk Cucak Rowo, sebenarnya lagu ini merupakan remake atau pembuatan ulang dari lagu lama di Indonesia . Saat ini, nama Didi Kempot sangat terkenal dan selalu dikaitkan dengan langgam Jawa dan Campursari. Didi tidak hanya terkenal di Indonesia , tetapi juga Suriname dan Belanda. Di kalangan masyarakat Jawa atau keturunan Jawa, dia dianggap sebagai superstar. Bahkan, ketikaPresiden Suriname , Weyden Bosch datang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1998, beliau mengundang Didi secara pribadi. Berkat dedikasinya kepada musik dan lagu berwarna langgam Jawa, oleh warga Jawa di Belanda, dia kemudian diberi gelar Penyanyi Jawa Teladan. Album pertama Didi muncul pada tahun 1999. Di dalamnya terdapat lagu Cidro dan Stasiun Balapan. Semula tidak ada seorang pun pedagang kaset yang melirik karyanya. Mungkin karena warna musiknya yang lain, dan gayanya yang edan, dibandingkan lagu Manthous dan Anjar Any yang sedang populer di tahun 1990-an. Namun, kemudian, album pertamanya ternyata meledak di pasaran. Sejak saat itu, Didi mulai merasa yakin untuk menekuni tembang-tembang Jawa. Adik dari pelawak Mamiek Prakosa ini kemudian menjadi salah satu ikon dari campur sari. Tawaran untuk membuat album pun datang dengan deras, bahkan dia pernah membuat 12 album sekaligus dalam satu tahun.
Didi Kempot adalah anak dari pelawak terkenal Ranto Gudel ato mbah Ranto. “Wah kamu anak Ranto Gudel ya ?”, mendengar pertanyaan itu Didi Kempot remaja yang sedang asyik mengamen tak jauh dari rumahnya, langsung ambil langkah seribu. Didi, di masa remajanya memang dikenal sebagai anak bandel, pemberani, dan nekat. Maka nekat pula ketika ia memutuskan untuk mengamen di sebuah rumah yang hanya berjarak delapan rumah dari tempat tinggalnya. “Saya mulai mengamen ketika masih kelas 3 SMP”, ungkap Didi. “Saya ngamennya sembunyi-sembunyi, takut ketahuan Bapak”, ungkap pria bernama asli Didi Prasetyo ini. “Awalnya mengamen juga hanya sekedar tes mental”, imbuh Didi sambil terkekeh. Gitar pertama yang Didi miliki merupakan buah kebandelannya. “Ketika kelas 2 SMA, sepeda pemberian Bapak saya jual untuk membeli gitar”, ungkap Didi. Berbekal gitar seharga 4000 rupiah itulah Didi mengembara sebagai pengamen, dan Jakarta menjadi tujuannya. Bagi Didi, seperti juga yang ada dalam benak banyak orang, nampaknya Jakarta masih menjadi primadona untuk mewujudkan mimpi. Didi Kempot, sebagai anak seorang Ranto Gudel, anggota Group Lawak Srimulat yang saat itu sedang jaya-jayanya, sebenarnya kehidupannya cukup berada. Tetapi keinginan yang besar untuk mandiri, mengalahkan nasehat ayahnya, yang menginkan Didi sukses di sekolah. Berbekal nasehat ayahnya yang berbunyi,”Masa depanmu tergantung kamu sendiri”, berangkatlah Didi ke Jakarta. |
Quote:
Ketika pertamakali Didi menginjakan kaki tanah Jakarta, Mamik Srimulat, yang juga kakak Kandung Didi sudah cukup dikenal sebagai pelawak yang sukses. Namun hal itu tidak membuat Didi mau berenak-enak tinggal bersama kakaknya. Malah ia memilih tinggal bersama kawan-kawannya, dengan mengontrak sebuah rumah yang mepet dengan kandang kambing. “Saya ingin seperti Mas Mamik, yang memulai karir dari nol”, ungkap Didi. Wah, mandiri sekali ya... Bakat seni memang mengalir deras di darahnya. Didi pun mulai mahir mencipta lagu. “Lagu-lagu yang saya ciptakan tadinya hanya saya nyanyikan sendiri saat mengamen”, ungkap Didi. Karena lagu-lagu ciptaan Didi sangat indah untuk dinyanyikan, lama kelamaan banyak pengamen jalanan yang sering membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dari situ mulai Didi dikenal di banyak orang. Sampai suatu ketika kelompok Lenong Bocah mengajak untuk rekaman di TVRI. “Meski honornya tidak seberapa tetapi bangganya itu lho … luar biasa”, jelas Didi. “Suatu saat Mas Mamik mengabarkan, saya akan dipertemukan dengan Mas Pompi, musikus yang mantan anggota No Koes. Sebelum berangkat, saya mandi di rumah Mas Mamik dan ganti pakaian. Wah, saya geli sendiri. Meski dipantas-pantaskan dengan baju bagus Mas Mamik, tetap saja saya bertampang pengamen”, ungkap Didi sambil kembali terkekeh. “Kami bertemu Mas Pompi di studionya di kawasan Depok Lama. Saya pun dites dengan menyanyikan lagu-lagu karangan saya sendiri. Ternyata lulus”, imbuhnya. Akhirnya Didi pun diajak rekaman dengan lagu andalan We Cen Yu. “Itu bukan lagu Mandarin, tapi singkatan Kowe Pancen Ayu (kamu memang cantik )”, ungkap pencipta lagu Sewu Kuto ini. Dan We Cen Yu akhirnya mampu secara perlahan merubah kehidupan Didi. Ketika menerima bayaran, Didi kaget luar biasa. Saat itu ia total menerima Rp 1,2 juta. “Wah, saya bingung melihat uang sebanyak itu. Maklum biasanya cuma dapat recehan”, ungkap Didi. Uang itu oleh Didi dibawa pulang ke Solo, lalu dibelikan nisan untuk almarhumah neneknya. “Beliaulah yang membesarkan saya sampai remaja”, jelas Didi. Berarti ayahnya mas Didi udah nggak ada ketika mas Didi sukses,. jadi terharu |
Quote:
Ditengah kesibukan luar biasa, Didi menyempatkan hadir pada “Sarasehan Keroncong 2008”, yang diselenggarakan oleh Tjroeng dan Sundari Soekotjo di Kota Solo awal Agustus 2008 yang lalu. Pada kesempatan itu Didi memberikan komentar tentang ketidak setujuannya bahwa keroncong saat ini tidak berkembang. “Saat ini keroncong masih mengalami perkembangan walaupun perkembangannya kurang menggema”, jelas Didi. Maka perlu dilakukan berbagai upaya supaya keroncong semakin hidup dan terus berkembang, tidak tergerus oleh perjalanan waktu. “Perlu diadakan lomba cipta lagu keroncong yang bekerja sama dengan recording studio”, usul Didi. “Menciptakan lagu-lagu keroncong baru, dengan bit yang berbeda namun dengan nuansa keroncong yang kuat”, imbuh Didi. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap keroncong, Didi juga sedang berupaya untuk memperkenalkan Rencong Solo (Regae Keroncong Solo). Sebuah upaya yang patut diapresiasi mengingat perkembangan keroncong masih terbatas pada pakem, dan masih sedikit musisi yang berani untuk melakukan perubahan |